Didalam teks-teks lontar bernuansa
Siwaistis, seperti Tattwa Jnana kita menemukan dua istilah, yaitu Cetana dan
Acetana yang sifatnya saling bertentangan. Acetana berarti ketidaksadaran atau ketidaktahuan. Cetana dan Acetana
adalah asal mula yang sama halus dan gaibnya, ia adalah dua hakekat berpasangan
yang beroposisi.
Cetana dan Acetana itu yang disebut siwatattwa dan mayatattwa. Cetana adalah siwatattwa dan acetana adalah
mayatattwa. Sama-sama kecil dan halus. Mayatattwa tidak memilki cetana, tidak
memilki jnana, hanya lupa tidak memiliki kesadaran. Siwatattwa mempunyai
sifat-sifat sadar jernih bercahaya. Cetana merupakan asas roh sedangkan
Acetana merupakan asas materi. Ditempatkannya
dua asas ini sebagai asas pertama mengingatkan pada ajaran filsafat Samkhya
yang bersifat dualis dengan menempatkan Purusa dan Prakerti sebagai asas
pertama dalam teori evolusi semesta (Teori 25 Tattwas). Pengadopsian ajaran
Samkhya kedalam teks Tattwa Jnana sangatlah mungkin, mengingat ajaran Samkhya
umurnya sangatlah tua dan pengaruhnya sangat besar bagi perkembangan filsafat
Hindu, hanya saja teks Tattwa Jnana sifatnya sudah mengarah pada konsep
Theistik dengan ditempatkannya "Parama Siwa" sebagai sumber kesadaran
tertinggi, sehingga lebih mendekati filsafat Yoga oleh Maha rsi Patanjali yang
dikenal dengan sebutan Sa-Iswara.
Cetana merupakan asas roh yang
menjadi jiwa semesta, sifatnya
murni dan selalu sadar (Consciousness) sedangkan Acetana merupakan asas materi
dari alam semesta yang sifatnya tidak sadar dan serba lupa (Unconsciusness).
Cetana merupakan Siwatattwa yang posisinya berada diatas sedangkan Acetana
disebut Mayatattwa tempatnya dibawah walaupun keduanya sama-sama bebas dari
suka-duka namun hanya Cetana/Siwatattwa yang mampu menyusup dan menembus tattwa
yang dibawahnya sedangkan Acetana tidak mampu mempengaruhi tattwa yang
diatasnya. Cetana/Siwatattwa dipilah menjadi tiga, yang didalam Tattwa Jnana
menyebutkan
......ikang sinangguh Siwa Tattwa, tiga
prabhedanya lwirnya; Paramasiwa Tattwa, Sadasiwa Tattwa, Atmika Tattwa. (Tattwa
jnana,2)
Artinya:
......yang disebut Siwa Tattwa ada
tiga yaitu; Paramasiwa Tattwa, Sadasiwa Tattwa,Atmika Tattwa.
Pada dasarnya Siwa adalah satu namun
keadaan dan sifatnya berbeda, yang secara Vertikal dipilah menjadi tiga bagian
menyangkut keadaanNya yaitu: Paramasiwa, Sadasiwa, dan Atmika Tattwa atau
Siwatma. Paramasiwa (Trancendent) adalah Siwa yang berada diluar
jangkauan pikiran manusia, tidak dapat di ukur, bebas ciri, tanpa cemar karena
bebas noda, ada di mana-mana, abadi, Ia tetap karena tidak bergerak, tak dapat
dibayangkan (Apremaya) karena sifatnya tanpa batas (ananta), tidak bisa di beri
batasan (Ani-desya), tidak dapat di bandingkan (Anaupamya), bebas dari penyakit
(Anamaya), tidak dapat di lihat (Suksma), ada dalam semesta (Sarwagata), ada
tanpa asal mula, kokoh (Dhruwa), tidak pernah berkurang (awyaya), Ia mengatur
segala namun tidak diatur. Paramasiwatattwa adalah bhatara dalam keadaan tanpa
bentuk, tidak bergerak, tidak guncang, tidak pergi, tidak mengalir, tidak ada
asal, tidak ada yang dituju, tidak berawal, tidak berakhir, hanya tetap tak
bergerak tetap tanpa gerak. Seluruh alam ini dipenuhi, diliputi, disangga,
disusupi seluruh sapta bhuana ini olehNya. Saptapatala disusupi
sepenuh-penuhnya tiada ruang yang terisi, pebuh terisi alam semesta ini
olehnya.
Sadasiwa (Immanent) adalah Siwa yang sudah mulai aktif yang di
penuhi oleh sifat Wyapara yang artinya dipenuhi oleh Sarwajna (serba tahu) dan
Sarwakaryakartha (serba kerja). Sarwajna dan Sarwakaryakartha ialah Padmasana
adalah singgasana Bhattara disebut Cadu sakti yaitu ibu sakti ialah tak ada kekurangan diseluruh alam semesta ini. yaitu ;
kekuatan meresap (Wibhusakti), kekuatan ilmu pengetahuan (Jnanasakti), kekuatan
atas kuasa (Prabhusakti). Dan Kriyasakti ialah mengadakan seluruh alam semesta ini,
terlebih-lebih para dewata semuanya, demikian pula alam ini, pertiwi (tanah),
apah (air), teja (cahaya), wayu (udara), akasa (either), matahari, bulan,
planet, itulah semua karya Bhatara Sadasiwatattwa di alam niskala. Adapun karya
Bhatara Sadasiwatattwa di alam sekala ialah Sang Hyang Sastra Agama, ilmu
pengetahuan mantra, ilmu pengetahuan logika, demikianlah karya Bhatara
Sadasiwatattwa ia berkuasa atas seluruh alam ini. Dari Wibhu
dan Prabhusakti beliau mempunyai kekuatan untuk meresap dan merangkai
(Utaprota). Ketika mengambil wujud Ia adalah mantramaka, yang bersifat mampu
mendengar suara yang jauh dan dekat (Durasrawana), mampu mengetahui apa yang
terjadi di tempat jauh dan dekat (Durasarwajna), mampu melihat yang jauh dan
dekat (Duradarsana) selain itu beliau mempunyai delapan kekuatan yang di sebut
Astaiswarya (Delapan kekuasaan), adapun Astaiswarya terdiri dari: Anima,
Laghima, Mahima, Prapti, Prakamya, Isitwa, Wasitwa dan Yatrakamawasayitwa.
Atmika/Siwatma (Immanent) adalah Bhatara Siwa dalam keadaan Sadasiwa
yang mempunyai kekuatan Uta (menyusup) bagai halnya
api yang berada dalam kayu apai, api dalam kayu api itu tidak nampak. Demikian
halnya Bhatara Sadasiwatattwa menyusupi mayatattwa tapi tidak nampak. Prota
(merangkai), bagaikan
permata Sphatika Bhatara Sadasiwatattwa tidak dapat dikotori hanya saja
cetananya yang terlekati oleh Mala, dihiasi dan diselimuti oleh Mayatattwa.
Akhirnya cetana itu menjadi tidak aktif, tidak lagi sarwajna, tidak lagi
sarwakaryakartha. Maka ia disebut Atmikatattwa, Sang Hyang Atma Wisesa, Bhatara
Dharma yang memenuhi alam semesta ialah jiwanya alam semesta, ialah jiwanya
semua makhluk. Bhatara Dharma, walaupun ia ada di alam niskala yang berbadan
turyapada, hanya cetananyalah yang menyebar memenuhi alam semesta. Berubah
menjadi semakin besar menjadi jiwa semua makhluk. Maya itulah yang dipandang
cetana yang memberi kesadaran.
Dari pertemuan Cetana dan Acetana
maka lahirlah Tattwa-Tattwa berikutnya yaitu; Pradhana Tattwa, Triguna Tattwa,
Budhi Tattwa, Ahangkara Tattwa, Bahyendriya Tattwa, Karmaindriya Tattwa, Panca
Maha Bhuta Tattwa. Demikianlah evolusi Tattwa-Tattwa lainnya dari yang terhalus
semakin mengkasar. Dari Panca Maha Bhuta Tattwa berkembang menjadi Sad Rasa
selanjutnya melahirkan unsur Sukla dan Swanita, kedua unsur ini nantinya
mengadakan seluruh mahluk hidup dalam bentuk jasmani. Dari sloka diatas dapat
diketahui pula bahwasannya segala yang ada (alam Semesta) ini berevolusi dari
Bhattara Siwa.
Bhatara
Mahulun ingin melihat benda yang nyata, maka itu diberikannya Sang Hyang Atma,
dipertemukan dengan Pradhanatattwa. Pradhanatattwa ialah anak Mayatattwa.
Itulah sebabnya sifat Pradhanatattwa lupa tak ingat apapun. Bagi manusia
dinamakan tidur. Lupalah yang menajdi badan Pradhanatattwa. Badan sang Hyang
Atma adalah ingat selalu bertemunya ingat lupa itulah yang disebut Pradhana-purusa.
Ketika bertemunya Pradhana dengan purusa itulah melahirkan cita dan guna. Citta
adalah wujud kasarnya Purusa, guna adalah hasil Pradhanatattwa yang diberi
kesadaran oleh purusa. Adapun guna itu ada tiga jenisnya yang berbeda-beda
yaitu : tattwam, rajah, tamas. Itulah yang disebut triguna yang dipakai sebagai
guna atau kualitas oelh citta.
Citta
adalah cetana Sang Purusa yang dilekati, dihiasi oleh triguna. Adapun
sifat-sifat triguna tersebut. Sattwa terang bercahaya melekati alam pikiran,
rajah sifatnya goncang, bergerak cepat, tergesa-gesa, panas hati, cepat
congkak, cepat tersinggung. Tamah sifatnya enggan, rahasia, malas, kotor, tak
puas-puasnya mkan. Sattwa, rajah, tamah yang melekat pada alam pikiran (Citta)
itulah yang menyebabkan atma menjelma berulang-ulang. Apabila hanya sattwa
terang benderang bercahaya dalam alam pikiran itu menyebabkan atma mencapai
kelepasan. Bila satwa bertemu dengan rajah itulah yang menyebabkan atma masuk
surge. Satwa bertemu dengan rajah maka mengakibatkan lahir sebagai manusia.
Bertemunya
Triguna dengan Citta lahirlah Buddhi. Sifat Buddhi adalah buddhi tanpa idep
atau pikiran sebab buddhi itu sendiri adalah idep (pikiran). Buddhi seperti
tidak mengetahui tetapi dia tahu. Buddhi itu hanya ingat akan baik dan buruk
saja. Triguna yang diberi kesadaran oleh Citta itulah yang disebut Buddhi.
Dari
Buddhi lahirlah angkara adalah wujud dari kasarnya kita itulah yang dikatakan
cetana yang diberi kesadaran. Dan budhi,
hanya menjadikan tempat untuk menerima adanya ahamkara, ada tiga jenisnya yaitu
: si waikreta, si taijasa, si bhutadi.
·
Ahangkara si
waikreta adalah buddhi sattwa
·
Ahangkara si
taijasa adalah budhi rajah
·
Ahangkara si
bhutadi adalah budhi tamah
Ahangkara Si Waikrta menyebabkan adanya manah dan sepuluh indria yaitu caksu (mata), srotha
(telinga), ghrana (hidung), jihwa (lidah), twak (kulit) yang disebut Pacendria,
wak (mulut). Pani (tangan), pada (kaki), upasta (kelamin laki-laki), payu
(pelesan),demikianlah yang disebut dengan Panca kamendriya. Kumpulan Panca Kamendriya
dengan pacendriya disebut dengan Dasendriya.
Ahangkara Sibutani ialah yang menggabungkan adanya Panca tanmatra yaitu Sabda tanmatra,
sparsa tanmatra, rupa tanmatra, rasa tanmatra, ganda tanmatra. Dari Panca
Tanmatra lahirnya Panca Maha Buta. Aksa lahir dari Sabda tanmatra, wayu lahir
dari sparsa tanmatra, teja lahir dari upa tanmatra, apah lahir dari rasa
tanmatra, pertiwi lahir dari ganda tanmatra. Itulah intisari unsure kasar
pertiwi, apah, teja, wayu, akasa itulah dijadikan bhuana oleh bhatara.
Demikianlah keadaannya Panca Maha Buta itu yang bercampur dengan guna,
dijadikan andhabhuana oleh bhatara. yaitu : Saptaloka bertempat di puncak yang
tertinggi. Kemudian sapta patala, Bhuana sarira namanya.
Demikianlah keadaan semesta dari
yang teratas hingga yang terbawah, didalam Bhur loka juga terdapat Sapta parwata (Tujuh gunung) yang
terdiri dari: Gunung Malyawan, Nisada, Gandhamadana, Malayamahidhara,
Trisrngga, Windhya dan Mahameru. Selain Sapta parwata terdapat pula Sapta arnawa yang terdiri dari: Lautan
Tuak, Gunatebu, Garam, Minyak, Madu, Susu dan lautan Santan. Didalam Bhur loka
terdapat pula Sapta Dwipa yaitu;
Pulau Jambhu, Kusa, Sangka, Salmali, Gomedha, Puskara dan pulau Kronca.
Sedangkan dibawah Sapta patala terdapat Balagadarba yang disebut Mahaneraka
yang dibawahnya terdapat Sang Hyang Kalagnirudra, api yang terus berkobar,
kobarannya mencapai 100.000 yojana dan menjadi dasar Sapta patala. Demikian keadaan Andabhuwana, bertingkat-tingkat sebagai rumaha lebah.
Demikian banyaknya element kasar itu hasil ahamkara si bhutadi. Ahangkara si taijasa, yaitu sifat
beristri dua orang yaitu membantu si waikrta dan si bhutadi. Ikut membuat
sebelas indria (Ekadasendria) dan Pancatanmatra.
Selain Bhuwana Agung ada pula yang
di sebut Bhuwana Alit (Badan manusia). Apapun yang terdapat didalam Bhuwana
Agung terdapat pula dalam Bhuwana Alit begitu pula sebaliknya Bhuwana Alit ada
didalam Bhuwana Agung karena keduanya tunggal adanya ;
Saptapatala ngaranya, patala silit,
witala pupu, nitala tud, mahatala wtis, sutala panghaganing suku, talatala
wahakangi talampakan, rasatala lepa- lepanya isor, nahan tang sinangguh sapta
patala ngaranya. (Tattwa Jnana, 49-50)
Artinya:
Sapta Bhuwana terdiri dari: Bhur
Loka adalah perut, Bhuwah Loka adalah hati, Swah Loka adalah dada. Tapa Loka
adalah kepala, Jnana Loka adalah lidah, Maha Loka adalah hidung, dan Satya Loka
adalah mata.
Itulah yang disebut Sapta Bhuwana.
Itulah yang disebut Sapta Bhuwana.
Sapta Patala terdiri dari: Patala
ialah dubur, Waitala adalah paha, Nitala adalah lutut, Mahatala adalah betis,
Sutala adalah pergelangan kaki, Rasatala adalah telapaknya yang di bawah.
Demikianlah yang disebut Sapta Patala namanya. Dari sini dapat dimengerti bahwasanya seluruh alam semesta ada dalam tubuh
manusia, begitu pula sebaliknya, semua menempati posisinya masing-masing.
Demikianlah proses evolusi semesta
yang dengan demikian segala yang ada ini mengalir dari Bhattara Siwa (Cetana)
yang nantinya bermuara kembali pada Bhattara Siwa (Cetana) hal ini sesuai
dengan gelar beliau sebagai Sang Hyang Sangkan Paraning Dumadi. Jadi kesimpulannya proses evolusi semesta di dalam SiwaTattwa berevolusi
secara berjenjang dari unsur-unsur yang terhalus (abstrak) hingga terkasar
(konkrit) atau terjadi dari unsur teratas hingga terbawah begitu pula
sebaliknya terjadi proses pralina atau moksa dari bawah menuju keatas, maka
semua unsur-unsur terkasar kembali pada unsur terhalus yang akhirnya menyatu
kembali pada sumber yang tertinggi yaitu Cetana/ Siwatattwa (jenjang moksa)
inilah konsep metu dan lina dalam Siwa Tattwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar