Kamis, 19 September 2013

UPACARA BAYUH OTON DI JEMBRANA

PROSESI, FUNGSI DAN NILAI UPACARA BAYUH OTON

1.                  PENDAHULUAN
Manusa yajña adalah korban suci yang bertujuan untuk memelihara hidup dan membersihkan lahir bathin manusia mulai dari sejak terwujudnya jasmani didalam kandungan sampai pada akhir hidup manusia itu (Subagiasta,1993;185). Pembersihan lahir bathin manusia sangat perlu dilakukan selama hidupnya, karena kebersihan merupakan salah satu wujud dari kesucian. Dengan kesucian, manusia akan dapat berpikir, berkata dan berbuat yang benar sehingga mampu meningkatkan dirinya ke taraf hidup yang lebih baik.
Bayuh oton adalah upacara yang diyakini dapat menetralisir derita bawaan. Bayuh oton dilaksanakan tepat pada hari kelahiran yajamana berdasarkan wuku dan wewaran, umumnya dilaksanakan ketika manusia sudah dapat berfikir serta mengingat apa yang dilakukan. Upakara yang dipergunakan disesuaikan dengan wuku dan wewaran atau hari kelahiran yajamana, setiap wuku dan wewaran memiliki jenis upakara yang berbeda sehingga akan ada perbedaan jenis banten dan tempat pelaksanaan sesauai dengan hari kelahiran.

2.                  Prosesi Bayuh Oton 
2.1.            Pewacakan
Pewacakan merupakan ramalan sifat bawaan menurut hari kelahiran baik itu yang mencakupi wuku dan wewaran. Sifat bawaan ini ada yang baik ada yang buruk didalamnya disebutkan penetralisir dari sifat negatif tersebut (Adnyana, wawancara; 30 Maret 2013).  Pada saat pewacakan, yajamana wajib mengetahui hari kelahirannya meiliputi wuku, sapta wara dan panca wara agar mempermudah jalannya pewacakan. Diketahuinya hari kelahiran dengan tepat maka Ida Sang sulinggih akan dapat memberikan petunjuk mengenai ramalan kelahiran dan upakara bayuh oton yang dipergunakan.

2.2.        Persiapan Sarana Upakara
2.2.1.     Naceb Salon
Nanceb salon adalah prosesi membuat atau mendirikan tempat untuk pelaksanaan upacara, baik itu tempat banten, bale pebat, tempat megarapan dan tempat resepsi tamu undangan. Waktu pelaksanaaan naceb salon memilih hari baik, umat mempercaiyai jika naceb salon dilakukan dengan tidak mengindahkan peraturan (uger-uger) baik itu pemilihan dewasa dan uger-uger lainnya seperti jumblah tiang penyangga salon yang berjumblah genap, akan berdampak buruk. Sehingga umat dalam pelaksanaan naceb salon menentukan hari baik (dewasa ayu) berdasarkan tri wara dan sad wara yaitu beteng, was atau jika dalam pelaksanaannya tidak memiliki cukup waktu dapat mempergunakan perhitungan tri wara saja (Adnyana, wawancara; 30 Maret 2013).

2.2.2.     Mejejahitan dan Metanding
Mejejahitan merupakan proses membuat unsur-unsur banten yang sering disebut dengan jejahitan. Metanding adalah kegiatan untuk menyanding-nyandingkan atau menata berbagai bahan sesaji sehingga menjadi sebuah keutuhan banten (upakara). Dalam prosesi metanding ini biasanya mulai memberikan bunga pada jejahitan, memberikan buah (raka) dan jajanan (jaja) sehingga semua unsur-unsur pada banten lengkap dan siap untuk dipersembahkan atau dihaturkan.

2.2.3.     Matur Piuning dan Nunas Tirtha Upesaksi
Bayuh oton dilandasi atas dasar upasaksi dan restu dari Bhatara Hyang Guru, Leluhur, Kawitan dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Berdasarkan hal tersebut yajamana melaksanakan prosesi matur piuning dan nunas (memohon) tirtha upasaksi di merajan dan pura kahyangan tiga dengan tujuan agar diberikan anugrah kelancaran, kesuksesan dan keselamatan dalam pelaksanaan bayuh oton.

2.3.            Pelaksanaan Bayuh Oton
Pelaksanakan bayuh oton bagi umat Hindu di Kecamatan Jembrana menggunakan pakian khas, yaitu (1) kampuh (saput) berwarna hijau disebut dengan gadang wali, (2) kamben berwarna merah. Semua pakaian yang dipakai merupakan hasil tenunan khas Kabupaten Jembrana.

2.3.1.      Nebusin
Penebusan bermakna nebusin atma yang diupacari sebelum diajak berkeliling melanjutkan penglukatan. Sarana upakara yang dipergunakan, yaitu (1) munggah: pejati. (2) sor: daar saji peras, kecepan, pejati, lis gadang, segehan agung, segehan warna, ditambah sarana upakara lain yang disebutkan dalam pawacakan berdasarkan wuku kelahiran (Tirta, wawancara; 30 Maret 2013).
Adapun prosesi pelaksanaan penebusan berdasarkan wuku ini sebagai berikut: (1) Ngeresikin (Ngeresikin banten dan ngeresikin yajamana) dipergunakan tirtha pengelukatan tirtha pebersihan dan tirtha   pryascita.    (2) Ngeluhurang    atau    ngayabang   banten.    (3) Pangubaktian (sembahyang).  (4) Nunas wangsuhpada dan bija. (5) Natab banten peras kecuali banten penebusan. (6) Ngelamunin (ngelungsur dan memakan isi dari upakara) (7) Sembah penutup sebagai ucapan terimakasi atas berjalannya prosesi dengan baik sampai akhir dan mohon maaf bila ada kesalahan.

2.3.2.      Penauran
Penauran adalah prosesi pengelukatan dan pembayaran hutang yang berfungsi menetralisir pengaruh negatif berdasarkan wewaran hari kelahiran yajamana. Sarana upakara yang dipergunakan, yaitu (1) munggah: canang gantal putih kuning. (2) sor: daar saji peras, kecepan, pejati, lis gadang, segehan agung, segehan warna, dilengkapi sarana upakara yang disebutkan dalam pawacakan berdasarkan wewaran kelahiran (Tirta, wawancara; 30 Maret 2013).
Adapun prosesi pelaksanaan penebusan berdasarkan wewaran ini sebagai berikut: (1) Ngeresikin (ngeresikin banten dan ngeresikin yajamana) dipergunakan tirtha pengelukatan tirtha pebersihan dan tirtha prayascita.          (2) Ngeluhurang atau ngayabang banten. (3) Pangubaktian (sembahyang).        (4) Melukat di dalam guungan (sangkar ayam) dengan tirtha sesuai dengan yang disebutkan di dalam pewacakan. (5) Nunas wangsuhpada dan bija. (6) Natab banten peras kecuali banten penebusan. (7) Ngelamunin (ngelungsur dan memakan isi dari upakara) (8) Sembah penutup sebagai ucapan terimakasi atas berjalannya prosesi dengan baik sampai akhir dan mohon maaf bila ada kesalahan.

2.3.3.      Pengingkup (Danda Yajña )
Danda yajña  adalah upacara pelengkap (pengingkup) dari rangakaian upacara penebusan dan penauran yang telah dilaksanakan. Tujuan dari dilaksanakan pengingkup adalah apabila semua upacara yang dilaksanakan di atas terdapat kekurangan maka danda yajña  digunakan sebagai sarana pelengkap. Melalui upacara ini diharapkan segala hutang dapat lunas dibayar tanpa ada sisa dan segala pengaruh negatif dapat dinetralisir.
          Sarana upakara yang dipergunakan dalam prosesi upacara danda yajña, meliputi: (1) munggah: pejati. (2) sor: ketipat daksina, canang gantal, dandanan, gandengan, tetereg, tegteg, penyolasan, sayut pajegan, daar putih kuning, saji, pebersihan sudamala, pengambeyan, pengulapan, pewayangan, pekurenan, tele, lis asasan, bayakala, segehan agung, dan segehan warna (banten asorohan) dilengkapi dengan sarana upakara sesuai dengan yang disebutkan dalam pewacakan (Tampini, wawancara; 30 Maret 2013).
     Dalam pelaksanaannya yang diupacarai menggunakan benang petelesan dengan warna sesuai pewacakan diikatkan di pinggang. Adapun proses pelaksanaan danda yajña, sebagai berikut:  (1) Ngeresikin. (2) Melis dan natab byakaonan. (3) Ngeluhurang banten. (4) Pangubaktian. (5) Pesosolan.               (6) Melukat dengan toya peperasan, toyo kelungah sesuai dengan yang disebutkan dalam pewacakan berdasarkan sapta wara kelahiran. (7) Nunas wangsuhpada, bija dan memberikan benang tetebus. (8) Natab banten penebusan dan peras.    (9) Ngelamunin. (10) Mengelilingi banten penebusan searah jarum jam sebanyak tiga kali sambil menggetok pahat dengan palu kayu (semeti) dan merobek banten penebusan. (11) Sembah penutup sebagai ucapan terimakasi atas berjalannya prosesi dengan baik sampai akhir dan mohon maaf jika ada kesalahan (Adnyana, wawancara; 10 Maret 2013).

2.3.4.      Maoton
Otonan merupakan peringatan terhadap hari kelahiran dan ucapan terimakasi kepada Hyang Guru dan leluhur karena diberikan kehidupan. Adapun prosesi dari maoton dilaksanakan oleh Ida Pandita, sebagai berikut:                    (1) Ngeresikin. (2) Mejaya-jaya. (3) Ngeluhurang banten dipuput oleh Ida Sang Sulinggih. (4) Pangubaktian (sembahyang), terdiri dari; (a) sembah puyung,        (b) kepada Bhatara Surya Raditya memohon upasaksi, (c) kepada Bathara Hyang Guru, (d) kepada Dewa Samudaya, dan (e) sembah puyung. (5) Metirta (tirtha penunggu, tirtha merajan, tirtha pura, dan tirtha surya). (6) Natab banten dan peras. (6) Sembah penutup sebagai ucapan terimakasi atas berjalannya prosesi dengan baik sampai akhir dan mohon maaf bila ada kesalahan. (7) Ngelungsur, dalam prosesi ini disertai dengan makan nasi dan ayam yang terdapat dalam banten. (8) Ngeseng (membakar) surat pewacakan, air blonyohnya mengunakan sisa tirtha yang tadi. Air abu dari hasil ngeseng tersebut diusapkan dilidah dan sisanya dibuang di cangkem paon (Adnyana, wawancara; 10 Maret 2013).

3.                  Fungsi Upacara Bayuh Oton          
3.1.            Fungsi Penyucian
Bayuh oton memiliki fungsi sebagai penyucian diri, baik secara jasmani maupun rohani karena mengandung unsur-unsur magis didalamnya khusunya terhadap unsur-unsur kejiwaan dari manusia sendiri. Pelaksanaan bayuh oton bertujuan mengurangi bahkan menghilangkan pengaruh-pengaruh negative meliputi tabyat buruk, penyakit, derita bawaan dan pengaruh buruk lainnya. Fungsi penyucian dalam bayuh oton  dapat kita lihat dari sarana upakara yang dipergunakan, yaitu: (1) Tirtha adalah sarana untuk memohon penyucian, terutama dipakai saat melaksanakan persembahyangan dengan cara membilas tangan sebagai pertanda memohon kekuatan peleburan letuhing sarira (kekotoran jiwa) kehadapan Sang Hyang Widhi dengan Prabhawa sebagai Sang Hyang Wisnu. (2) Byakaonan bermakna menghilangkan segala sesuatu yang membahayakan baik pada setiap upakara, pralingga, termasuk yang terdapat dalam diri sendiri, yang kemudian dapat menimbulkan gejolak-gejolak negatif tatkala berpikir, berucap dan berprilaku yang bersumber dari ahamkara (egoisme). (3) Prayascita adalah sebagai simbol penyucian  rohaniah.  Dalam Puja Prayascita sebagai mana dikutip  Wiana (2001-173) dinyatakan ada lima mala atau kotoran diri untuk mohon dihilangkan dengan banten Lis yakni sarwa roga, sarwa wighna, sarwa klesa, sarwa satru dan sarwa dusta.

3.2.            Fungsi Pembayaran Hutang
Bayuh oton merupakan salah satu media yang dipergunakan umat Hindu khusunya di Kecamatan Jembrana untuk membayar hutang. Hutang yang dimaksud dalam upacara bayuh oton dilihat dari dasar pelaksanaannya seperti dijelaskan di atas ketika manusia lahir kembali kedunia ini diyakini ada janji-janji yang diucapkan sehingga janji-janji tersebut haruslah dibayar melalui bayuh oton.  Fungsi bayuh oton sebagai pemabayaran hutang di Kecamatan Jembrana sering disebut naurin berasal dari kata “taur” yang berarti membayar. Atau juga sering disebut dengan nebusin yang berarti menebus. Sehingga sangat jelas bahwasanya bayuh oton merupakan sarana untuk membayar hutang yang dibayarkan atau ditebus dengan sarana upakara.

4.                  Nilai Pendidikan Agama Hindu dalam Upacara Bayuh Oton
4.1.      Nilai Etika
Nilai etika dalam agama Hindu terkandung dalam segala aktifitas keagamaan yang dilaksanakan baik itu yajña, salah satunya bayuh oton. Dalam tata cara pelaksanaan bayuh oton memiliki tatanan yang mengandung etika tinggi, dimana etika tersebut merupakan pencerminan aturan-aturan (sesana-sesana). Masyarakat Kecamatan Jembrana memiliki sesana dalam hubungannya dengan pelaksanaan bayuh oton. Sesana tersebut adalah bagaimana berbicara dan bertutur kata yang baik, bertingkah laku yang baik dan benar, dan berfikir yang psitif yang semua itu ada dalam ajaran Tri Kaya Parisudha (wacika, manacika dan kayika). Cerminan ethika tersebut dapat dilihat dari: (1) tata busana saat tangkil ke gria, menggunakan pakaian adat dengan baik dan benar. (2) bertutur kata (matur) dengan Ida Sang Sulinggih menggunakan bahasa alus. (3) bertingkah laku yang sopan dan baik. (4) pada saat ngayah tidak membicarakan orang lain.

4.2.      Nilai Sosial
Nilai sosial bayuh oton Sangat erat kaitannya dengan prilaku kehidupan umat di tengah interaksi sosial. Secara sosiokultural, pelaksanaan upacara keagamaan melibatkan aktifitras kemasyarakatan. Setiap ritual keagamaan yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali terutama di Kecamatan Jembrana melibatkan individu-individu di dalam lingkungan masyarakat.
Kehidupan sosial keagamaan ini juga dikenal sebagai suka duka. Suka duka dalam konteks ini (1) suka yaitu pekerjaan sosial kegamaan di masyarakat yang terdiri dari pekerjaan bersifat gembira, misal upacara perkawinan, mesangih, melaspas, dan bayuh oton.  (2) duka yaitu pekerjaan sosial keagamaan di masyarakat yang terdiri dari pekerjaan bersifat duka, misal upacara kematian. Wujud nyata suka duka ini dalam bentuk aksi kehidupan sosial yang bersifat keagamaan bagi umat Hindu di Kecmatan Jembrana dikenal dengan istilah, masesili artinya saling tolong menolong secara bergiliran dalam pekerjaan tertentu dengan sesama tetangga yang kemudian berintegrasi dalam bentuk sokongan. Sokongan dalam pelaksanaannya hampir sama dengan arisan, krama yang ikut serta dalam sokongan ini akan bergilir membantu krama lainnya dalam konteks ini sokongan yang dimaksud bisa dalam bentuk uang yang disebut dengan sesari, beras, gula, janur, jahitan, dan lain sebaginya tergantung dari aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama.
 
4.3.      Nilai Religius
Nilai religius memfokuskan relasi manusia yang berkomunikasi dengan Tuhan. Untuk memahami nilai religius, hanya dengan iman dan cinta terhadap manusia dan dunialah manusia menyadari bahwa Tuhan itu merupakan Pencipta, Yang Mahatahu, dan Hakim bagi dunia ini. Melalui nilai religius ini, manusia berhubungan dengan Tuhannya melalui kebaktian, pujian dan doa, kesetiaan dan kerelaan berkorban bagi Tuhan. http://id.wikipedia.org/wiki /Aksiologisme (diakses 9 Maret 2013)
Setiap upacāra merupakan proses untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, selalu disertai dengan upakāra yaitu sarana yang dipakai sebagai media pemujaan Tuhan. Umat Hindu di Kecematan Jembrana dalam pelaksanaan bayuh oton menggunkan sarana berupa banten, sebagai wujud persebahan dan media untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Sehingga dengan pelaksanaan bayuh oton umat meyakini Ida Sang Hyang Widhi Wasa akan memberikan anugrah berupa keselametan, kerahayuan dan kerahajengan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar