PROSESI, FUNGSI DAN NILAI UPACARA BAYUH OTON
1.
PENDAHULUAN
Manusa yajña adalah korban
suci yang bertujuan untuk memelihara hidup dan membersihkan lahir bathin
manusia mulai dari sejak terwujudnya jasmani didalam kandungan sampai pada
akhir hidup manusia itu
(Subagiasta,1993;185). Pembersihan lahir bathin manusia sangat perlu dilakukan
selama hidupnya, karena kebersihan merupakan salah satu wujud dari kesucian.
Dengan kesucian, manusia akan
dapat berpikir, berkata dan berbuat yang benar sehingga mampu meningkatkan
dirinya ke taraf hidup yang lebih baik.
Bayuh
oton adalah upacara yang diyakini dapat
menetralisir derita bawaan. Bayuh oton
dilaksanakan tepat pada hari kelahiran yajamana
berdasarkan wuku dan wewaran, umumnya dilaksanakan ketika
manusia sudah dapat berfikir serta mengingat apa yang dilakukan. Upakara yang dipergunakan disesuaikan
dengan wuku dan wewaran atau hari kelahiran yajamana,
setiap wuku dan wewaran memiliki jenis upakara
yang berbeda sehingga akan ada perbedaan jenis banten dan tempat pelaksanaan sesauai dengan hari kelahiran.
2.
Prosesi Bayuh Oton
2.1.
Pewacakan
Pewacakan
merupakan ramalan sifat bawaan menurut hari kelahiran baik itu yang mencakupi wuku dan wewaran. Sifat bawaan ini ada yang baik ada yang buruk didalamnya
disebutkan penetralisir dari sifat negatif
tersebut (Adnyana, wawancara; 30 Maret 2013).
Pada saat pewacakan, yajamana wajib mengetahui hari
kelahirannya meiliputi wuku, sapta wara dan panca wara agar mempermudah jalannya pewacakan. Diketahuinya hari kelahiran dengan tepat maka Ida Sang sulinggih akan dapat memberikan
petunjuk mengenai ramalan kelahiran dan upakara
bayuh oton yang dipergunakan.
2.2. Persiapan Sarana Upakara
2.2.1. Naceb Salon
Nanceb
salon adalah
prosesi membuat atau mendirikan tempat untuk pelaksanaan upacara, baik itu
tempat banten, bale pebat, tempat megarapan dan tempat resepsi tamu
undangan. Waktu pelaksanaaan naceb salon memilih hari baik, umat
mempercaiyai jika naceb salon
dilakukan dengan tidak mengindahkan peraturan (uger-uger) baik itu pemilihan dewasa
dan uger-uger lainnya seperti jumblah tiang penyangga salon yang berjumblah genap, akan berdampak buruk. Sehingga umat
dalam pelaksanaan naceb salon menentukan hari baik (dewasa ayu) berdasarkan tri wara
dan sad wara yaitu beteng, was atau jika dalam pelaksanaannya tidak
memiliki cukup waktu dapat mempergunakan perhitungan tri wara saja (Adnyana,
wawancara; 30 Maret 2013).
2.2.2. Mejejahitan dan
Metanding
Mejejahitan merupakan proses membuat
unsur-unsur banten yang sering
disebut dengan jejahitan. Metanding adalah kegiatan untuk
menyanding-nyandingkan atau menata berbagai bahan sesaji sehingga menjadi
sebuah keutuhan banten (upakara).
Dalam prosesi metanding ini biasanya
mulai memberikan bunga pada jejahitan,
memberikan buah (raka) dan jajanan (jaja) sehingga semua unsur-unsur pada banten lengkap dan siap untuk
dipersembahkan atau dihaturkan.
2.2.3. Matur Piuning dan Nunas Tirtha Upesaksi
Bayuh
oton dilandasi atas dasar upasaksi dan restu dari Bhatara Hyang Guru, Leluhur, Kawitan dan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Berdasarkan hal tersebut yajamana
melaksanakan prosesi matur piuning
dan nunas (memohon) tirtha upasaksi di merajan dan pura kahyangan
tiga dengan tujuan agar diberikan anugrah kelancaran, kesuksesan dan
keselamatan dalam pelaksanaan bayuh oton.
2.3.
Pelaksanaan Bayuh Oton
Pelaksanakan bayuh oton bagi umat Hindu di Kecamatan
Jembrana menggunakan pakian khas, yaitu (1) kampuh
(saput) berwarna hijau disebut dengan gadang
wali, (2) kamben berwarna merah.
Semua pakaian yang dipakai merupakan hasil tenunan khas Kabupaten Jembrana.
2.3.1. Nebusin
Penebusan
bermakna nebusin atma yang diupacari
sebelum diajak berkeliling melanjutkan penglukatan. Sarana upakara yang dipergunakan, yaitu (1) munggah: pejati. (2) sor: daar saji peras, kecepan, pejati, lis
gadang, segehan agung, segehan warna, ditambah sarana upakara lain yang disebutkan dalam pawacakan berdasarkan wuku kelahiran (Tirta, wawancara; 30
Maret 2013).
Adapun prosesi pelaksanaan penebusan berdasarkan wuku ini sebagai berikut: (1) Ngeresikin (Ngeresikin banten dan ngeresikin yajamana) dipergunakan tirtha pengelukatan tirtha pebersihan dan
tirtha pryascita. (2) Ngeluhurang atau
ngayabang banten. (3) Pangubaktian (sembahyang). (4) Nunas wangsuhpada dan bija. (5) Natab banten peras kecuali banten penebusan. (6) Ngelamunin (ngelungsur dan memakan isi dari upakara) (7)
Sembah penutup sebagai ucapan
terimakasi atas berjalannya prosesi dengan baik sampai akhir dan mohon maaf
bila ada kesalahan.
2.3.2. Penauran
Penauran
adalah prosesi pengelukatan dan pembayaran hutang yang berfungsi menetralisir
pengaruh negatif berdasarkan wewaran
hari kelahiran yajamana. Sarana upakara yang dipergunakan, yaitu (1) munggah: canang gantal putih kuning. (2) sor:
daar saji peras, kecepan, pejati, lis gadang, segehan agung, segehan warna,
dilengkapi sarana upakara yang
disebutkan dalam pawacakan berdasarkan wewaran
kelahiran (Tirta, wawancara; 30 Maret 2013).
Adapun prosesi pelaksanaan penebusan berdasarkan wewaran ini sebagai berikut: (1) Ngeresikin (ngeresikin banten dan ngeresikin yajamana) dipergunakan tirtha pengelukatan tirtha pebersihan dan
tirtha prayascita. (2) Ngeluhurang
atau ngayabang banten. (3) Pangubaktian
(sembahyang). (4) Melukat di dalam guungan (sangkar ayam) dengan tirtha
sesuai dengan yang disebutkan di dalam pewacakan.
(5) Nunas wangsuhpada dan bija.
(6) Natab banten peras kecuali banten penebusan. (7) Ngelamunin (ngelungsur dan memakan isi dari upakara) (8)
Sembah penutup sebagai ucapan
terimakasi atas berjalannya prosesi dengan baik sampai akhir dan mohon maaf
bila ada kesalahan.
2.3.3. Pengingkup (Danda Yajña )
Danda
yajña adalah upacara pelengkap (pengingkup) dari rangakaian upacara penebusan dan penauran
yang telah dilaksanakan. Tujuan dari dilaksanakan pengingkup adalah apabila semua upacara yang dilaksanakan di atas
terdapat kekurangan maka danda yajña digunakan sebagai sarana pelengkap. Melalui
upacara ini diharapkan segala hutang dapat lunas dibayar tanpa ada sisa dan
segala pengaruh negatif dapat dinetralisir.
Sarana upakara yang dipergunakan dalam prosesi
upacara danda yajña, meliputi: (1) munggah:
pejati. (2) sor: ketipat daksina,
canang gantal, dandanan, gandengan, tetereg, tegteg, penyolasan, sayut pajegan,
daar putih kuning, saji, pebersihan sudamala, pengambeyan, pengulapan, pewayangan, pekurenan, tele, lis asasan, bayakala,
segehan agung, dan segehan warna (banten asorohan) dilengkapi dengan sarana
upakara sesuai dengan yang disebutkan
dalam pewacakan (Tampini, wawancara;
30 Maret 2013).
Dalam
pelaksanaannya yang diupacarai menggunakan benang
petelesan dengan warna sesuai pewacakan
diikatkan di pinggang. Adapun proses pelaksanaan danda yajña, sebagai
berikut: (1) Ngeresikin. (2) Melis dan natab byakaonan. (3)
Ngeluhurang banten. (4) Pangubaktian.
(5) Pesosolan. (6) Melukat dengan toya
peperasan, toyo kelungah sesuai dengan yang disebutkan dalam pewacakan berdasarkan sapta wara kelahiran. (7) Nunas wangsuhpada, bija dan memberikan benang tetebus.
(8) Natab banten penebusan dan peras.
(9) Ngelamunin. (10) Mengelilingi banten
penebusan searah jarum jam sebanyak tiga kali sambil menggetok pahat dengan
palu kayu (semeti) dan merobek banten penebusan. (11) Sembah penutup sebagai ucapan terimakasi atas
berjalannya prosesi dengan baik sampai akhir dan mohon maaf jika ada kesalahan
(Adnyana, wawancara; 10 Maret 2013).
2.3.4. Maoton
Otonan
merupakan peringatan terhadap hari kelahiran dan ucapan terimakasi kepada Hyang
Guru dan leluhur karena diberikan kehidupan. Adapun prosesi dari maoton dilaksanakan oleh Ida Pandita, sebagai berikut: (1) Ngeresikin. (2) Mejaya-jaya. (3) Ngeluhurang banten dipuput oleh Ida Sang
Sulinggih. (4) Pangubaktian (sembahyang),
terdiri dari; (a) sembah puyung, (b) kepada Bhatara Surya Raditya memohon upasaksi,
(c) kepada Bathara Hyang Guru, (d) kepada Dewa Samudaya, dan (e) sembah puyung.
(5) Metirta (tirtha penunggu, tirtha merajan,
tirtha pura, dan tirtha surya).
(6) Natab banten dan peras. (6) Sembah penutup sebagai ucapan terimakasi atas
berjalannya prosesi dengan baik sampai akhir dan mohon maaf bila ada kesalahan.
(7) Ngelungsur, dalam prosesi ini
disertai dengan makan nasi dan ayam yang terdapat dalam banten. (8) Ngeseng
(membakar) surat pewacakan, air blonyohnya mengunakan sisa tirtha yang tadi. Air abu dari hasil ngeseng tersebut diusapkan dilidah dan
sisanya dibuang di cangkem paon (Adnyana,
wawancara; 10 Maret 2013).
3.
Fungsi Upacara Bayuh Oton
3.1.
Fungsi Penyucian
Bayuh oton
memiliki fungsi sebagai penyucian diri, baik secara jasmani maupun rohani
karena mengandung unsur-unsur magis didalamnya khusunya terhadap unsur-unsur
kejiwaan dari manusia sendiri. Pelaksanaan bayuh
oton bertujuan mengurangi bahkan
menghilangkan pengaruh-pengaruh negative meliputi tabyat buruk, penyakit,
derita bawaan dan pengaruh buruk lainnya. Fungsi penyucian dalam bayuh oton dapat kita lihat dari
sarana upakara yang dipergunakan,
yaitu: (1) Tirtha adalah sarana untuk
memohon penyucian, terutama dipakai saat melaksanakan persembahyangan dengan
cara membilas tangan sebagai pertanda memohon kekuatan peleburan letuhing sarira (kekotoran jiwa) kehadapan Sang Hyang Widhi dengan Prabhawa sebagai Sang Hyang Wisnu. (2) Byakaonan
bermakna menghilangkan segala sesuatu yang membahayakan baik pada setiap upakara, pralingga, termasuk yang terdapat dalam diri sendiri, yang kemudian
dapat menimbulkan gejolak-gejolak negatif tatkala berpikir, berucap dan
berprilaku yang bersumber dari ahamkara
(egoisme). (3) Prayascita adalah
sebagai simbol penyucian rohaniah. Dalam Puja
Prayascita sebagai mana dikutip
Wiana (2001-173) dinyatakan ada lima mala
atau kotoran diri untuk mohon dihilangkan dengan banten Lis yakni sarwa roga,
sarwa wighna, sarwa klesa, sarwa satru dan sarwa dusta.
3.2.
Fungsi Pembayaran Hutang
Bayuh oton
merupakan salah satu media yang dipergunakan umat Hindu khusunya di Kecamatan
Jembrana untuk membayar hutang. Hutang yang dimaksud dalam upacara bayuh oton dilihat dari dasar pelaksanaannya seperti dijelaskan di atas
ketika manusia lahir kembali kedunia ini diyakini ada janji-janji yang diucapkan
sehingga janji-janji tersebut haruslah dibayar melalui bayuh oton. Fungsi bayuh
oton sebagai pemabayaran hutang di
Kecamatan Jembrana sering disebut naurin
berasal dari kata “taur” yang berarti
membayar. Atau juga sering disebut dengan nebusin
yang berarti menebus. Sehingga sangat
jelas bahwasanya bayuh oton merupakan sarana untuk membayar
hutang yang dibayarkan atau ditebus dengan sarana upakara.
4.
Nilai Pendidikan Agama Hindu dalam
Upacara Bayuh Oton
4.1. Nilai Etika
Nilai etika dalam agama Hindu
terkandung dalam segala aktifitas keagamaan yang dilaksanakan baik itu yajña, salah satunya bayuh oton. Dalam tata cara pelaksanaan bayuh oton memiliki tatanan yang mengandung etika tinggi, dimana
etika tersebut merupakan pencerminan aturan-aturan (sesana-sesana). Masyarakat Kecamatan Jembrana memiliki sesana dalam hubungannya dengan
pelaksanaan bayuh oton. Sesana tersebut adalah bagaimana berbicara dan bertutur kata yang
baik, bertingkah laku yang baik dan benar, dan berfikir yang psitif yang semua
itu ada dalam ajaran Tri Kaya Parisudha
(wacika, manacika dan kayika). Cerminan ethika tersebut dapat
dilihat dari: (1) tata busana saat tangkil
ke gria, menggunakan pakaian adat
dengan baik dan benar. (2) bertutur kata (matur)
dengan Ida Sang Sulinggih
menggunakan bahasa alus. (3) bertingkah laku yang sopan dan baik. (4) pada saat
ngayah tidak membicarakan orang lain.
4.2. Nilai Sosial
Nilai sosial bayuh oton Sangat erat
kaitannya dengan prilaku kehidupan umat di tengah interaksi sosial. Secara
sosiokultural, pelaksanaan upacara keagamaan melibatkan aktifitras
kemasyarakatan. Setiap ritual keagamaan yang dilaksanakan oleh umat Hindu di
Bali terutama di Kecamatan Jembrana melibatkan individu-individu di dalam
lingkungan masyarakat.
Kehidupan
sosial keagamaan ini juga dikenal sebagai suka
duka. Suka duka dalam konteks ini
(1) suka yaitu pekerjaan sosial
kegamaan di masyarakat yang terdiri dari pekerjaan bersifat gembira, misal
upacara perkawinan, mesangih, melaspas,
dan bayuh oton. (2) duka yaitu pekerjaan sosial keagamaan di
masyarakat yang terdiri dari pekerjaan bersifat duka, misal upacara kematian. Wujud nyata suka duka ini dalam bentuk aksi kehidupan sosial yang bersifat
keagamaan bagi umat Hindu di Kecmatan Jembrana dikenal dengan istilah, masesili artinya saling tolong menolong
secara bergiliran dalam pekerjaan tertentu dengan sesama tetangga yang kemudian
berintegrasi dalam bentuk sokongan. Sokongan dalam pelaksanaannya hampir
sama dengan arisan, krama yang ikut
serta dalam sokongan ini akan
bergilir membantu krama lainnya dalam
konteks ini sokongan yang dimaksud bisa dalam bentuk uang yang disebut dengan sesari, beras, gula, janur, jahitan, dan lain sebaginya tergantung
dari aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama.
4.3. Nilai Religius
Nilai religius
memfokuskan relasi manusia yang berkomunikasi dengan Tuhan. Untuk memahami nilai religius, hanya dengan iman dan
cinta terhadap manusia dan dunialah manusia menyadari bahwa Tuhan itu merupakan
Pencipta, Yang Mahatahu, dan Hakim bagi dunia ini. Melalui nilai religius
ini, manusia berhubungan dengan Tuhannya melalui kebaktian, pujian dan doa,
kesetiaan dan kerelaan berkorban bagi
Tuhan. http://id.wikipedia.org/wiki
/Aksiologisme (diakses 9 Maret 2013)
Setiap upacāra merupakan proses untuk
mendekatkan diri dengan Tuhan, selalu disertai dengan upakāra yaitu sarana yang dipakai sebagai media
pemujaan Tuhan. Umat Hindu di Kecematan Jembrana dalam
pelaksanaan bayuh oton menggunkan sarana berupa banten, sebagai wujud persebahan dan
media untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Sehingga dengan pelaksanaan bayuh oton umat meyakini Ida Sang
Hyang Widhi Wasa akan memberikan anugrah berupa keselametan, kerahayuan dan kerahajengan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar